Absennya Integritas dalam Masyarakat Bermuka Dua
Jumat, 30 Mei 2025 13:48 WIB
Tak sedikit masyarakat terkena sindrom wajah ganda.
***
Integritas bukan hanya soal kejujuran pribadi. Ia adalah fondasi kehidupan sosial yang sehat. Dalam dokumen tentang integritas, dijelaskan bahwa integritas mencerminkan kesatuan antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Namun di masyarakat kita hari ini, integritas sering kali menjadi slogan tanpa nyawa. Banyak orang tahu maknanya, tapi enggan mempraktikkan. Yang terjadi justru sebaliknya: wajah ganda, topeng, dan kepura-puraan semakin dominan.
Fenomena ini disebut masyarakat bermuka dua, yang mana orang hidup dengan kepribadian ganda. Di depan, mereka tampak suci dan jujur. Namun, di balik layar, nilai itu hanya hiasan. Mereka memuji kejujuran, tpi menyogok untuk lulus ujian. Mereka bicara moral, tapi main proyek gelap. Ketidaksesuaian antara nilai dan perilaku ini menunjukkan absennya integritas. Dalam istilah sederhana, inilah bentuk kemunafikan yang merusak.
Contoh paling nyata ada di dunia birokrasi. Kita pun menyaksikan. Banyak pejabat publik pandai bicara soal etika, tapi sulit membuktikan kesetiaan pada ucapan sendiri.Banyak pejabat gencar menyuarakan gerakan antikorupsi. Namun di waktu yang sama, mereka terlibat praktik gratifikasi, pelaksana program justru tersandung korupsi. Mereka mencitrakan diri di media sosial sebagai pemimpin bersih. Namunn, laporan keuangan mereka penuh rekayasa. Ini bukan sekadar kasus perorangan, melainkan pola sosial. Integritas jadi topeng. Mereka sadar publik menuntut moral, tapi hanya memainkannya di permukaan. Ironi Ini bukan soal kurangnya aturan, tapi lemahnya keberanian untuk menjadi teladan: suatu cerminan kehilangan nilai diri.
Di bidang pendidikan, wajah ganda ini juga terasa. Plagiatisme, perjokian, suap, manipulasi, gratifikasi, dan ketidakdisiplinan biasa terjadi di dunia pendidikan kita. Misalya, guru menyuruh siswa berlaku jujur, tapi memberi bocoran jawaban saat ujian. Kepala sekolah berbicara soal karakter, tapi menerima “amplop” dari rekanan. Sementara murid belajar sejak dini bahwa nilai bisa dibeli, bukan diraih. Dokumen menyebutkan bahwa orang berintegritas adalah mereka yang sama di depan dan di belakang. Dalam praktik, kita temukan sebaliknya: pendidikan justru mengajarkan kepura-puraan.
Media sosial memperparah segalanya. Banyak figur publik menampilkan hidup ideal: berbicara soal empati, kemanusiaan, atau toleransi. Namun tak lama kemudian, mereka ketahuan menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian. Mereka menjual nilai demi branding pribadi. Padahal integritas seharusnya utuh, tidak tergantung audiens. Ketika perilaku bergantung pada panggung, kebenaran telah menjadi komoditas.
Tak sedikit juga masyarakat biasa yang terkena sindrom wajah ganda. Mereka mengeluh soal korupsi, tapi saat mengurus surat di kantor kelurahan, mengurus SIM, mereka memberi uang pelicin. Mereka mencaci oknum polisi pungli, tapi saat kena tilang, mereka memilih “damai di tempat”. Semua ingin sistem bersih, tapi enggan berperan dalam membersihkannya. Integritas adalah kejujuran yang tak tergoyahkan oleh tekanan.
Fenomena bermuka dua tak hanya muncul karena godaan materi. Ada juga yang timbul dari rasa takut. Takut kehilangan jabatan, takut tak disukai, atau takut dikucilkan. Maka orang-orang memilih diam saat melihat ketidakadilan. Mereka memilih ikut arus meski tahu arus itu menyesatkan. Inilah mengapa keberanian menjadi bagian penting dari integritas. Tanpa keberanian, kejujuran hanyalah mimpi.
Manusia bermuka dua kehilangan keaslian dirinya. Mereka memisahkan antara apa yang mereka pikir dan apa yang mereka tampilkan. Akibatnya, hidup terasa lelah karena harus terus berpura-pura. Integritas adalah “menjadi diri sendiri di mana pun berada.” Namun, masyarakat kita justru makin terbiasa memainkan peran yang tak mencerminkan jati diri.
Secara psikologis, hidup dalam dua wajah menimbulkan stres batin. Individu tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Mereka dihantui kecemasan, rasa bersalah, dan kehilangan makna. Banyak orang sukses secara finansial, tapi kosong secara batin. Mereka merasa hampa karena kehilangan hubungan sejati dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Integritas bukan cuma soal moral, tapi juga soal kesehatan jiwa.
Wajah ganda masyarakat sebagai dampak struktur sosial yang timpang. Ketika kejujuran tidak dihargai, orang memilih kepura-puraan sebagai jalan hidup. Ketika sistem memberi ruang bagi manipulasi, integritas dianggap hambatan. Orang baik dianggap bodoh, orang licik dianggap cerdas. Dalam iklim seperti ini, integritas seperti barang antik yang usang dan asing.
Namun demikian, harapan belum sirna. Masih ada orang-orang jujur yang memilih jalan lurus. Mereka bekerja dengan hati, tidak terpengaruh godaan. Mereka tidak selalu viral, tapi menjadi tulang punggung integritas sosial. Mereka adalah guru yang tak mau terima amplop, petugas yang menolak suap, dan siswa yang menolak mencontek. Mereka membuktikan bahwa integritas masih mungkin, meski sulit.
Saatnya kita berhenti menjadi penonton wajah ganda ini. Kita harus mulai dari diri sendiri: berpikir jujur, berkata benar, bertindak sesuai hati nurani. Integritas adalah hasil dari keselarasan hati, pikiran, dan tindakan. Jika ingin bangsa ini pulih, kita harus merawat integritas, bukan hanya di bibir, tapi dalam hidup sehari-hari. Bukan untuk terlihat benar, tapi untuk sungguh-sungguh menjadi manusia yang benar.

Penggiat literasi dan penikmat kopi susu
55 Pengikut

Absennya Integritas dalam Masyarakat Bermuka Dua
Jumat, 30 Mei 2025 13:48 WIB
Dedi Mulyadi dan Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Kamis, 29 Mei 2025 07:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler